Mengenal Apa Itu Teks Editorial, Struktur Teks Editorial, Kaidah Kebahasaan Teks Editorial dan Contohnya

February 14, 2018

Baca Juga Artikel Berikut Ini

Mengenal Teks Editorial - Pada kesempatan kali ini, admin akan menjelaskan seputar salah satu jenis teks yaitu teks editorial. Sebenarnya teks yang satu ini telah kalian kenali sejak masih sekolah SMA tapi mungkin kalian sudah lupa.

Tak masalah, berikut admin akan jelaskan kembali seputar teks editorial mulai dari pengertian, struktur teks, kaidah kebahasaan, hingga contohnya. Oke, langsung saja simak penjelasan berikut ini

Apa Itu Teks Editorial?


Mengenal teks editorial, struktur teks editorial, kaidah kebahasaan teks editorial, dan contohnya


Teks editorial/opini atau yang sering disebut dengan tajuk rencana merupakan teks yang berisi tentang pendapat pribadi seseorang mengenai suatu isu/permasalahan yang aktual. Isu/permasalahan ini bisa meliputi isu politik, sosial, ekonomi, atau juga politik.

Teks editorial biasanya sering muncul di koran ataupun majalah. Tentunya pendapat ini harus didukung dengan fakta, bukti, serta alasan yang logis/masuk akal sehingga bisa diterima oleh pembaca.

Apa Saja Struktur Teks Editorial?


Teks opini atau teks editorial memiliki struktur teks yang terdiri atas : tesis(pernyataan pendapat), argumentasi, dan penegasan ulang pendapat (reiteration). Berikut masing-masing penjelasannya :


  • Tesis/Pernyataan Pendapat


Pada tesis berisi tentang sudut pandangan atau cara pandang penulis menempatkan diri terhadap isu/permasalahan yang sedang diangkat. Tesis ini bisa mengacu ke suatu bentuk pernyataan atau bisa berupa sebuah teori yang akan diperkuat oleh argumen.


  • Argumentasi


Pada argumentasi berisi alasan atau bukti yang berguna untuk memperkuat pernyataan pada tesis. Argumentasi disini bisa berarti memperkuat pernyataan pada tesis dengan  memberikan data hasil penelitian, pernyataan para ahli, atau fakta-fakta yang didasari referensi yang terpercaya ataupun menolak pendapat tersebut.


  • Penegasan Ulang Pendapat (Reiteration)


Penegasan ulang  pendapat atau reiteration merupakan salah satu struktur teks editorial yang berisi penguatan kembali pendapat yang sudah dijelaskan pada argumentasi. Penegasan ulang pendapat terdapat pada bagian akhir teks editorial.

Bagaimana Kaidah Kebahasaan Pada Teks Editorial Itu?
Kaidah kebahasaan pada teks editorial menggunakan verba material atau kata kerja berimbuhan yang mengacu pada tindakan. Berikut kaidah kebahasaan teks editorial.


  1. Konjungsi, yakni kata penghubung pada suatu teks. Contohnya : bahkan, sedangkan, melainkan, setelah, dan lain sebagainya.
  2. Verba Material, yaitu verba yang menunjukkan adanya suatu perbuatan fisik/peristiwa
  3. Adverbia yakni kaidah kebahasaan yang ditujukan supaya pembaca bisa meyakini teks editorial tersebut dengan menggunakan keterangan seperti selalu, sering, kadang-kadang, jarang dan sebagainya.
  4. Verba Mental, yakni verba yang menunjukkan afeksi (khawatir, gelisah, dan sebagainya), persepsi (melihat, memandang, dan sebagainya), serta kognisi (mengerti, memahami, dsb).
  5. Verba Rasional, yakni verba yang menunjukkan hubungan intensitas dan juga hubungan milik.


Setelah anda mengetahui apa pengertian, struktur, dan kaidah kebahasaan pada teks editorial, berikut akan admin berikan contoh teks editorial. Contoh teks editorial ini admin kutip dari Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik SMA Terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015.

Pil Pilu Pemilu (Oleh Zen Hae)


Tesis/Pernyataan Pendapat :

Pemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta demokrasi, tapi juga pesta akronim (dan singkatan). Menjelang dan saat pemilulah kita menyaksikan bangsa kita memproduksi akronim secara besar-besaran. Pemilu itu adalah sebuah akronim, begitu juga tahapan dan perangkatnya: pemilukada atau pilkada, pileg, pilpres, pilwalkot, luber jurdil, parpol, bawaslu/panwaslu, balon, dapil, caleg, capres/cawapres, cagub/cawagub, cabup/cawabup, pantarlih, dan seterusnya.

Argumentasi

Tengok juga bagaimana para pasangan (calon) pemimpin menamai diri mereka: WIN-HT (Wiranto-Hary Tanoe), Aman (Annas Maamun-Arsyadjuliandi Rachman), KarSa (Soekarwo-Saifullah Yusuf), sementara pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawireja berakronim “Berkah”. Adapun Joko Widodo menjadi “Jokowi”, tapi Basuki Tjahaja Purnama malah dipanggil “Ahok”, tidak diakronimkan dengan “Bacapur” atau “Basunama”.

Begitulah, pangkal soal utama akronim adalah hasrat akan keringkasan dalam berkomunikasi. Kita menggunakan akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini.

Sejatinya, akronim bukanlah kata. Ia  hanya kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan, setidaknya, tiga kecenderungan. Pertama, prinsip semau gue. Satuan terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Tapi tidak ada kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip adalah unsur kata dasar atau kata turunan. Semuanya boleh sepanjang akronim itu bisa “diperlakukan sebagai sebuah kata”, karena begitulah pengertian dasar akronim menurut Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2009).

Tapi bagaimana kita bisa memperlakukan akronim sebagai sebuah kata, dengan cara yang wajar pula? Ambil contoh lain: “Sentra Gakkumdu” (Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Meski menurut syarat pembentukan akronim ia tidak lebih dari tiga suku kata dan taat asas dengan mengambil suku kata terakhir setiap kata, “Gakkumdu” adalah “kata” yang aneh, baik bunyi maupun kombinasi vokal dan konsonannya.

Kedua, pencomotan huruf atau suku kata itu menggiring kita ke dalam perangkap alusi bunyi. Sadar atau tidak, saat membuat akronim, kita membayangkan bunyi yang mirip dengan bunyi kata yang sudah ada, atau bahkan sama persis, sehingga kata yang sudah ada itu mengalami pengayaan makna. Misalnya, “pileg” (pemilu legislatif) beralusi bunyi dengan pilek; “caleg” (calon anggota legislatif) dengan calo; sementara “balon” (bakal calon) sebunyi dengan balon.

Tapi lain soalnya dengan “markus” (makelar kasus) dalam kasus Gayus Tambunan. Ketimbang “maksus” yang berpola, wartawan lebih memilih “markus” yang sembarangan. Kita mengenal Markus dalam khazanah Kristen sebagai salah satu rasul atau murid Yesus. Tapi namanya telah dicatut untuk menamai sebuah kejahatan yang bertentangan dengan citranya selama ini. Akibatnya, penggunaan akronim ini sempat diprotes umat Kristen karena dianggap telah mendiskreditkan rasul atau murid Yesus tersebut. Sedangkan pada zaman Orde Baru kita tidak berani memprotes penggunaan akronim “petrus” (penembak misterius), padahal Petrus juga salah satu rasul atau murid Yesus. Penembak misterius semestinya diakronimkan dengan “bakus” atau “bakmis” (jika mengacu pada akronim Perbakin). Tapi dua rancangan itu tidak menarik bunyinya, kurang alusif.

Terakhir, sebaliknya, pembentukan akronim juga menghindari jebakan alusi bunyi. Sejak awal Orde Baru, “pemilihan umum” diakronimkan dengan “pemilu”, bukan “pilum”, “pemilum” (jika mengacu ke pola “ketum”). Tidak juga “pilu”, yang mencomot unsur kata dasar pilih dan umum. Jika pemilu diakronimkan dengan “pilu”, akan segera beralusi bunyi dengan kata pilu yang kita sudah tahu maknanya. Jika “pilu” yang digunakan, permainan makna akan menyasar ironi pemilu di masa itu: pemenangnya Golkar melulu, tidak pernah PPP atau PDI. Sedangkan kini “pemilu” bisa juga dimaknai sebagai “menyebabkan pilu atau sakit hati” akibat munculnya pelbagai sengketa dan kecurangan pemilukada.

Memang, dalam pembuatannya, akronim yang berpola kadang tidak menarik atau membingungkan, maka orang memilih yang melenceng tapi menghasilkan kemerduan bunyi (misalnya “sisminbakum”) atau menyaran kepada harapan dan doa.

Itulah mengapa Wiranto, capres dari Partai Hanura, menyingkat namanya menjadi “Win”, bukan “Wir”, karena dengan “Win” dia berharap akan meraih kemenangan di pilpres nanti. Sedangkan dengan “Wir” terkesan peluangnya akan “terkiwir-kiwir”-sebagaimana pernah dinyatakan seorang pengguna Twitter.

Akhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita terhadap akronim? Saya menerima akronim sebagai sebentuk kreativitas dan permainan makna yang menyegarkan. Pada titik tertentu, ia terasa mengotori bahasa Indonesia atau memperbingung penuturnya, apalagi penutur asing.

Penegasan Ulang Pendapat (Reiteration)

Agar mudah dipahami dalam berkomunikasi, syaratnya sederhana: kita harus merumuskan kalimat sepadat dan sejernih mungkin-bukan membuat akronim atau singkatan. (Sumber Dari Koran Tempo 24 Februari 2014)

Sekian pembahasan seputar teks editorial semoga sedikit pembahasan ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.


Dapatkan Update Artikel Blog Firdaus Melalui Email

Bila pembaca merasa bahwa artikel-artikel di blog Firdaus bermanfaat, pembaca bisa memberikan sedikit donasi melalui Rekening BRI. Dana hasil dari donasi tersebut akan digunakan untuk memperpanjang domain Blog Firdaus Terima kasih.

Comments

Komentarlah yang sopan
Jangan spam
Dilarang gunakan link aktif
Dilarang komentar yang menyinggung SARA dan berkonten negatif

Terima kasih :)